Tekan Konsumsi Rokok, Pemerintah Diminta Cermati Aturan Diskon HTP

0 491

Beriklan? Hubungi : 0853 9999 4508

JAKARTA, JawaPos.com – Tigginya tingkat konsumsi rokok masyarakat bawah kembali menjadi sorotan. Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) meminta pemerintah mengkaji kembali aturan diskon rokok yang menyebabkan pengendalian konsumsi rokok sulit dilakukan di tengah upaya pemerintah menekan konsumsi produk tembakau.

Murahnya harga rokok di tingkat pedagang eceran, yang sebagian besar diakses masyarakat menengah ke bawah, berpotensi turut meningkatkan angka kemiskinan. “Perokok di kelompok miskin lebih banyak dibandingkan kelompok kaya. Pengeluaran rokok di kelompok miskin itu 6,5 kali konsumsi daging di keluarganya,” kata Abdillah Ahsan, Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia dalam keterangannya di Jakarta, Senin (29/7).

Ia merekomendasikan agar Harga Transaksi Pasar (HTP) rokok bisa dinaikkan minimal menjadi 95 persen dari harga banderol, bahkan idealnya hingga 100 persen.
Saat ini, ketentuan diskon rokok terdapat dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Ini adalah turunan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Dalam aturan tersebut, harga transaksi pasar boleh dipatok 85 persen dari harga banderol. Bahkan, produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari banderol asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.

Dari survei yang dilakukan diketahui para pedagang eceran menyatakan diskon rokok sudah terjadi di tingkat agen. Umumnya, harga transaksi pasar (HTP), atau harga jual akhir rokok ke konsumen, lebih murah sekitar Rp 2 ribu – Rp 3 ribu per bungkus dibandingkan harga banderol atau harga yang tercantum dalam pita cukai.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga mendesak pemerintah merevisi aturan yang memperbolehkan diskon harga rokok. Ketentuan tersebut dinilai bertentangan dengan upaya pemerintah menurunkan tingkat konsumsi (prevalensi) merokok di Indonesia yang terus meningkat. “Memang itu kebijakan ngawur. Racun, kok, diberikan diskon,” tegas Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi.

Menurut dia, tidak ada alasan yang kuat pemerintah memperbolehkan diskon rokok. Sebab, ketentuan tersebut bertentangan dengan upaya pemerintah menekan konsumsi rokok di masyarakat. Apalagi, belakangan pemerintah melakukan pemblokiran sebagian iklan di internet. (JP)

Tinggalkan Balasan